Saham Indonesia Naik atau Malah Stagnan?

 


Pasar saham Indonesia, diwakili oleh Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), menunjukkan fluktuasi harga yang signifikan seiring waktu. Namun, beberapa saham tampak stagnan ketika dilihat dari nilai riil, di mana kenaikan harga nominal ternyata tidak mampu mengalahkan laju inflasi. Inflasi, yang diukur melalui Indeks Harga Konsumen (IHK) oleh Badan Pusat Statistik (BPS), telah bervariasi sejak 1997, dengan rata-rata 8,34% dan puncak tertinggi 82,40% pada September 1998 Indonesia Inflation Rate. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: mengapa beberapa saham tidak memberikan pertumbuhan riil, dan bagaimana investor dapat mengidentifikasi serta menghindari saham tersebut?

Penelitian ini relevan karena pengembalian riil (real return) mencerminkan kemampuan investasi untuk mempertahankan atau meningkatkan daya beli di tengah inflasi. Sebuah studi oleh Sia et al. (2024) menunjukkan bahwa kenaikan inflasi secara signifikan dapat menekan harga saham di Indonesia, terutama dalam jangka pendek dan panjang, dengan efek asimetris di mana penurunan inflasi tidak selalu meningkatkan harga saham Does inflation or interest rate matter to Indonesian stock prices?. Hal ini mendukung hipotesis bahwa inflasi tinggi dapat menyebabkan stagnasi nilai riil saham.

Metodologi Penelitian

Untuk mengidentifikasi saham stagnan, penelitian ini dapat menggunakan pendekatan kuantitatif dengan data sekunder. Populasi penelitian mencakup seluruh saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dari tahun 2015 hingga 2025, dengan sampel diambil dari indeks LQ45 dan IDX30 untuk memastikan likuiditas dan representasi yang baik. Data harga saham dapat diperoleh dari BEI Indonesia Stock Market (JCI), sementara data inflasi dari BPS Indonesia Inflation Rate.

Proses analisis meliputi:

  1. Pengumpulan Data: Harga penutupan harian saham dan tingkat inflasi tahunan.
  2. Penyesuaian Inflasi: Menghitung harga riil menggunakan formula: Harga Riilt=Harga Nominalti=1t(1+Inflasii)\text{Harga Riil}_t = \frac{\text{Harga Nominal}_t}{\prod_{i=1}^t (1 + \text{Inflasi}_i)}Saham dianggap stagnan jika harga riil pada akhir periode mendekati (±5%) harga riil awal.
  3. Analisis Statistik: Menggunakan uji stasioneritas (Augmented Dickey-Fuller Test) untuk memastikan data tidak acak, regresi linier berganda untuk menguji hubungan antara variabel seperti ROE, EPS, Debt-to-Equity Ratio, volatilitas pasar, dan sentimen investor dengan stagnasi harga riil.
  4. Analisis Kualitatif: Studi kasus pada 3–5 saham stagnan untuk mengidentifikasi faktor spesifik, seperti sektor industri (misalnya pertambangan, ritel) atau kebijakan perusahaan.

Periode penelitian dipilih 10 tahun (2015–2025) untuk menangkap siklus pasar yang cukup panjang, termasuk periode inflasi tinggi seperti 2022–2023 (rata-rata 4,2% pada 2022) dan periode stabil seperti 2023–2025 Indonesia Inflation Rate.

Data Historis dan Temuan Hipotetis

Berdasarkan data historis, inflasi di Indonesia bervariasi, dengan rata-rata 4,1% dari 2013–2022 menurut FocusEconomics Indonesia Inflation Rate. Jakarta Composite Index (JCI) mencatat rekor tertinggi 7910,56 pada September 2024, tetapi penurunan signifikan terlihat pada April 2025 dengan nilai 6262,23 Indonesia Stock Market (JCI). Analisis hipotetis menunjukkan saham di sektor sensitif seperti pertambangan atau ritel cenderung stagnan karena dipengaruhi oleh harga komoditas global dan daya beli domestik yang tertekan inflasi.

Hipotesis penelitian mencakup:

  1. Saham dengan fundamental lemah (ROE rendah, utang tinggi) cenderung stagnan setelah penyesuaian inflasi.
  2. Sektor seperti komoditas dan ritel lebih rentan stagnasi dibandingkan teknologi atau keuangan.
  3. Inflasi tinggi memperburuk stagnasi dengan menekan laba perusahaan.

Implikasi dan Rekomendasi

Hasil penelitian diharapkan mengidentifikasi saham stagnan, seperti perusahaan ritel besar atau emiten tambang batubara, yang harga sahamnya naik selama booming komoditas tetapi kembali ke nilai awal setelah inflasi disesuaikan. Faktor penyebab stagnasi meliputi fundamental lemah, inflasi tinggi (misalnya 4,35% pada 2022), dan sentimen pasar seperti volume perdagangan rendah.

Untuk investor, rekomendasi meliputi:

  • Diversifikasi portofolio untuk menghindari saham stagnan, fokus pada saham dengan fundamental kuat atau instrumen seperti obligasi.
  • Strategi value investing untuk mencari saham undervalued dengan potensi pertumbuhan laba melampaui inflasi.
  • Memantau proyeksi inflasi tahunan dari Bank Indonesia (BI) atau BPS untuk menyesuaikan ekspektasi return.

Bagi perusahaan, disarankan meningkatkan efisiensi operasional untuk menekan dampak inflasi dan komunikasi strategi pertumbuhan kepada investor. Regulator dapat mendorong transparansi laporan keuangan dan edukasi pasar tentang pentingnya mempertimbangkan inflasi dalam investasi.

Kesimpulan

Fenomena saham stagnan setelah penyesuaian inflasi mencerminkan tantangan struktural di pasar saham Indonesia, seperti sensitivitas terhadap kondisi makroekonomi. Penelitian ini diharapkan membantu investor membuat keputusan lebih terinformasi, dengan fokus pada saham yang tahan inflasi seperti teknologi atau keuangan, sambil mendorong emiten meningkatkan nilai riil. Jadwal penelitian mencakup 6 bulan, mulai dari pengumpulan data hingga penyusunan laporan.

Kutipan Kunci

Slider Parnert

Subscribe Text

Tutorial Sukses Bisnis Gratis